funu Amerika hasoru korea utara
SEOUL - Pengerahan kapal induk USS Carl Vinson dengan armada tempurnya ke semenanjung Korea merupakan reaksi serius Amerika Serikat (AS) terhadap rezim Korea Utara (Korut). Komentar ini disampaikan pemerintah Korea Selatan (Korsel), Senin (10/4/2017).
Komando Pasifik AS yang berbasis di Hawaii mengumumkan pada hari Minggu kemarin bahwa armada tempur dari kapal induk Carl Vinson yang terdiri dari kapal induk tenaga nuklir USS Carl Vinson dan dua kapal perusak dengan rudal presisi telah dikerahkan dikirim ke perairan di dekat semenanjung Korea.
Armada ini sejatinya hendak menuju Australia, tetapi dialihkan ke semenanjung Korea karena meningkatnya ancaman dari rezim Korut yang dipimpin Kim Jong-un.
Kementerian Pertahanan Korsel melalui juru bicaranya, Moon Sang-Gyun, mengatakan, langkah AS ini menunjukkan komitmen Washington untuk memperkuat kemampuan pertahanan guna melawan tindakan provokatif rezim Korut, seperti peluncuran rudal balistik dan uji coba senjata nuklir.
”Pengerahan ini tampaknya mencerminkan persepsi keseriusan AS atas situasi di semenanjung Korea,” kata Sang-gyun, seperti dilansir Reuters.
Kapal induk AS itu membawa sekitar 5.000 personel dan lebih dari 60 pesawat jet tempur di dek-nya.
Namun, para pejabat di Seoul berusaha untuk meredam ketegangan dengan tidak berharap adanya konfrontasi militer dengan rezim Kim Jong-un.
”Tidak perlu untuk khawatir banyak. AS mengatakan pihaknya mendukung kebijakan Korea Selatan terhadap Korut, dan pemerintah kita bermaksud untuk menyelesaikan semua masalah secara damai,” ujar juru bicara Kementerian Unifikasi Korsel, Lee Duck-hang.
Menurutnya, AS dan Korsel berniat untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan dengan memecahkan masalah secara damai dengan Korut.
Analis juga memperingatkan risiko terparah jika AS konfrontasi militer dengan Korut. ”Baik AS maupun Korut akan mengambil inisiatif untuk berperang, tapi risiko konflik lebih tinggi seperti salah perhitungan atau kecelakaan yang bisa membawa perang untuk semenanjung,” kata Zhang Tuosheng dari China Foundation for International and Strategic Studies seperti dikutip South China Morning Post.
Komentar